Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton berkerja sama dengan Forum Dekan PTMA, Ketua STIH Se-Indonesia dan Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah mengadakan diskusi daring dengan tema “Penanganan Kasus Djoko Tjandra dalam Perspektif Hukum Pidana” melalui aplikasi Meeting Zoom pada hari Rabu (30/09/2020).
Fakultas Hukum menghadirkan beberapa narasumber diantaranya, Dr. Amier Ilyas, S.H., M.H akademisi Universitas Hasanuddin Makasar; Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.H Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah; Dekan Fakultas Hukum UM Buton Dr. Indah Kusuma Dewi, S.H., M.H. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Djamaludin A.K., S.H selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UM Buton.
Panitia penyelenggara memilih kasus Djoko Tjandra sebagai pembahasan dalam kajian ilmu hukum, khususnya dalam perspektif hukum pidana. Mengingat kasus Djoko tjandra banyak mengundang misteri dalam proses penanganannya.
Menurut Dr. Amier Ilyas, S.H., M.H DOSEN Fakultas Hukum Universitas Hasadunddin Makassar, bahwa Kasus tersebut menjadi menarik ketika JPU melakukan upaya hukum luar biasa atau yang dikenal dengan istilah Peninjauan Kembali (PK). Sehingga pada bulan Oktober 2008 Djoko Tjandra dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dan divonis hukuman 2 tahun penjara. Putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sejak saat itu, Djoko Tjandara menjadi buron (tidak menjalankan pidananya).
Dr. Amier Ilyas seorang praktisi hukum, menerangkan bahwa penegakan hukum formil dalam kasus tersebut menimbulkan satu kejanggalan.
“Karena dalam hukum acara pidana, tidak mengenal adanya PK terhadap putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang menyatakan terdakwa bebas dan lepas dari tuntutan hukum. Ia mengacu pada 263 ayat (1) KUHAP “terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, Kecuali Putusan Bebas Atau Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada MA.” Terangnya.
Sementara Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.H mengulas kasus terbaru Djoko Tjandra dari pemalusan dokumen kependudukan serta kasus suap. Keterlibatan oknum kejaksaan dan Eks Karo PPNS Bareskrim Polri menjadi tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesai.
“Djoko Tjandra memperdayai negara. Ia menjadi warga negara Papua Nugini yang bebas keluar masuk Indonesia serta memiliki KTP dan Paspor RI. Tidak hanya itu, Polri dan Kejagung tidak mengetahui penghapusan Djoko Tjandra dari daftar buronan interpol.” Sambungnya.
“Proses kepemilikan E-KTP atas nama Djoko Tjandra menyalahi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminsitrasi Kependudukan. Dengan status WNA pelaku seharusnya tidak dibenarkan memiliki KTP. Lolosnya administrasi kependudukan melibatkan Lurah Grogol dan Asep Subahan.” ia menambahakan.
Senada dengan Dr. Trisno, Ibu Dr. Indah Kusuma Dewi, S.H., M.H, bahwa lolosnya adminsitrasi kependudukan Djoko Tjandra tidak terlepas dari peran aktif Lurah Grogol dan Asep Subahan. Permasalahannya terletak pada prosedur yaitu pengisian formulir dan verifikasi faktual data kependudukan.
Menurut Dr. Indah Kusuma Dewi, S.H., M.H, bahwa Prosedur penerbitan eKTP telah diatur dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) butir b Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional yang menyebutkan bahwa petugas di tempat pelayanan KTP-el memproses dengan tata cara : (1) merekam isi formulir permohonan KTP-el kedalam data base kependudukan, (2) Melakukan Verifikasi secara langsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prosedur yang digunakan Djoko Tjandara tersebut menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan.